I always believe the power of mind.
Dalam segala sesuatunya, apapun yang kita kerjakan, apapun yang kita rasakan, semuanya bersumber dan berakhir pada pikiran. pikiran kita sendiri, tempat di mana cuma kita pribadi yang punya aksesnya. Selama tubuh tidak mengkhianati, kita bisa berpikir tentang apa saja tanpa orang lain tahu. Seperti punya dunia sendiri yang bebas dari pengaruh orang lain.
Tapi ini bisa jadi senjata, bisa jadi bom bunuh diri.
Biasanya saya selalu mencoba untuk berpikir positif.
"Orang itu galak karena harinya jelek."
"Dia tidak bermaksud begitu, cuma salah sangka."
"Ah, pasti ada alasan bagus dia berbuat seperti itu."
dan seterusnya, dan lain hal semacamnya.
Atau di saat-saat sulit, yang bisa menguatkan diri adalah saya sendiri. Semua motivasi dan kemauan yang saya miliki datang dari saya sendiri. Kalau malas atau putus asa, harus ada secuil di pikiran saya yang tidak malas atau tidak putus asa, supaya saya bisa kembali. Kalau tidak, habislah.
Karena sayalah orang yang saya dengarkan. Ketika orang lain yang berbicara dan pikiran saya menolak, selamat tinggal.Sifat keras kepala ini kemudian berujung pada gengsi. Kata teman-teman, dan kadang saya sendiri, gengsi saya tingginyaaa naujubilah.
mau minta maaf, gengsi.
berbuat salah, gengsi.
mau minta tolong, gengsi.
Capek yaa. Sekali lagi, ini bisa jadi senjata, bisa jadi bom bunuh diri. Untung sampai sekarang saya masih bisa terus menodong senjata, bukannya merakit bom. kiasan, kiasan.
Saya juga sudah terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri. Some may say it's independent. Others find it's exhausting. But to me, that's the way i roll. Melihat orang lain yang tergantung pada orang lain lagi bikin gemas dan tidak sabar. Mau marah tapi pikiran otomatis positif, "Memang orangnya begitu, tidak semua bisa melakukan semuanya sendiri." Bagus juga sih, biarpun kadang jadi tidak konsisten.
Dulu malah lebih parah, tidak percaya kerjaan orang. kalau kerja kelompok dan sistemnya bagi tugas, harus dicek dulu. Apakah saya puas atau tidak dengan bagian orang lain. Padahal pendapat saya juga belum tentu benar. Untung sekarang sudah tidak (terlalu) lagi. Sejak kuliah di psikologi, itu terlaluuu melelahkan. Bukannya rawat jalan, bisa jadi malah terkena gangguan.
Now, I'm still working with this "myself" thing. Terlalu banyak "saya" dalam pikiran. bahkan dalam tulisan ini pun, dimana-mana bertebaran kata-kata "saya". Mungkin ini pesan dari alam bawah sadar. (Maklum anak psikologi, yang terlintas pun tentang unconsciousness-nya Freud.) Harus lebih mendengarkan dan mempertimbangkan orang lain. No matter how difficult that is, because it might be better. And better is nice, It's one step closer to the best. :))
when you learn how to dream, make sure you also learn how to live in reality.